Medan — Kasus korupsi berjamaah yang menyeret 100 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009–2014 kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, desakan datang dari pakar hukum tata negara sekaligus Ketua Lembaga Kalibrasi Anti Korupsi dan Hak Asasi Manusia (LKAHAM), Antony Sinaga, S.H., M.Hum., yang meminta Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk segera turun tangan mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntaskan perkara tersebut hingga ke akar-akarnya.
Dalam pernyataan resmi yang disampaikan kepada media di Medan, Antony menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mandeknya perkembangan penyidikan terhadap para aktor intelektual yang diduga menjadi pengendali aliran dana suap. Ia menyoroti bahwa selama ini proses hukum justru lebih banyak menyasar para penerima suap, sementara pihak yang berperan sebagai pengepul dana—yang diyakini sebagai kunci utama dalam membongkar seluruh jejaring korupsi—masih belum tersentuh oleh penegak hukum.
“Ini sangat tidak adil secara hukum. Penerima suap sudah dihukum, bahkan sebagian sudah menjalani masa pidana mereka. Tapi pengepul dan pemberi uang suap yang menjadi aktor intelektual justru belum juga ditetapkan sebagai tersangka. Ini bukan hanya melukai rasa keadilan, tapi juga membahayakan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia,” tegas Antony kepada wartawan, Kamis (19/6).
Antony menilai bahwa langkah menuntaskan kasus ini sepenuhnya sejalan dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam agenda besar reformasi hukum. Ia mengingatkan bahwa dalam berbagai pidato dan dokumen resmi, Presiden Prabowo telah berulang kali menegaskan komitmennya untuk bertindak tegas terhadap para pelaku korupsi, termasuk dengan menyita aset dan memiskinkan mereka, baik di tingkat pusat, daerah, maupun di satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Menurutnya, jika pengepul dana dan pelaku utama belum diproses, maka Presiden perlu mengambil langkah konkret untuk mendesak KPK agar segera bertindak.
“Presiden Prabowo punya visi jelas: koruptor tidak hanya dihukum badan, tapi juga dimiskinkan. Jika pengepul dana dan pelaku utama masih bebas berkeliaran, bagaimana kita bisa yakin bahwa sistem hukum berjalan adil? Maka kami menyerukan agar Presiden menggunakan kewenangannya untuk mendesak KPK bertindak tegas,” ujarnya.
Perkara ini sendiri telah lama menjadi perhatian publik, sejak terbongkarnya skandal suap yang melibatkan ratusan anggota legislatif daerah dalam berbagai pengesahan anggaran, laporan pertanggungjawaban gubernur, dan program-program strategis daerah selama masa jabatan 2009–2014. Saat itu, KPK telah memproses lebih dari 100 anggota DPRD Sumut serta beberapa pejabat eksekutif. Namun, proses hukum yang hanya fokus pada penerima suap dianggap tidak menyentuh akar masalah dan menimbulkan pertanyaan besar tentang siapa sesungguhnya yang dilindungi.
Antony menyebut bahwa publik sudah lama mendengar dan mengetahui siapa saja yang disebut-sebut sebagai pengepul dana dan pengatur teknis aliran uang suap tersebut. Akan tetapi, ketika KPK tidak juga menindaklanjuti informasi dan bukti yang ada, maka kepercayaan terhadap lembaga antirasuah itu mulai terkikis. Ia menekankan bahwa kepercayaan publik terhadap KPK saat ini berada di titik kritis, dan hanya tindakan konkret yang mampu memulihkannya.
Kepemimpinan baru KPK di bawah Setyo Budiyanto pun menjadi harapan baru. Antony berharap Ketua KPK yang berlatar belakang penegak hukum profesional itu dapat membawa perubahan dan keberanian institusional dalam menuntaskan kasus-kasus besar warisan masa lalu, termasuk perkara suap DPRD Sumut yang hingga kini masih menyisakan banyak tanda tanya.
“KPK tidak boleh jadi alat politik. KPK harus kembali ke khitah-nya: membongkar sampai ke akar. Jika pengepul dan pelaku utama tidak disentuh, maka publik akan bertanya: siapa sebenarnya yang dilindungi?” kata Antony.
Desakan kepada Presiden untuk ikut turun tangan, menurut Antony, bukan bentuk intervensi terhadap independensi KPK, melainkan bentuk tanggung jawab moral dan politik untuk memastikan seluruh instrumen negara bergerak secara adil, objektif, dan tegas dalam menghadapi kejahatan luar biasa seperti korupsi. Ia menyebut bahwa masyarakat membutuhkan kepastian hukum yang adil dan tidak diskriminatif.
Sejak awal 2024, berbagai elemen masyarakat sipil, mahasiswa, dan aktivis antikorupsi mulai kembali menyuarakan tuntutan agar kasus ini dituntaskan secara menyeluruh. Beberapa surat terbuka sudah dilayangkan kepada KPK, namun hingga pertengahan 2025 ini, belum ada perkembangan signifikan. Masuknya nama Presiden Prabowo dalam pusaran harapan publik ini, menurut Antony, merupakan langkah logis sekaligus penting untuk memperkuat mandat moral lembaga-lembaga penegak hukum.
“Kami percaya, dengan dukungan dan tekanan dari Presiden, maka KPK akan punya alasan dan keberanian moral untuk menyentuh siapa pun yang selama ini ‘tak tersentuh’. Rakyat butuh keadilan, bukan sekadar pertunjukan hukum,” pungkas Antony.
Kasus korupsi berjamaah di Sumut ini menjadi salah satu skandal politik dan hukum terbesar dalam sejarah reformasi daerah. Tuntutan masyarakat agar para pelaku utamanya diusut tuntas adalah wujud dari keinginan rakyat untuk melihat hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Kini, bola panas ada di tangan Presiden dan KPK: akankah keadilan benar-benar ditegakkan?
(Tim Media)